Pada awal abad 20, seorang yang dikategorikan liberal oleh aktivis dan penggiat khilafah, Ali Abd Al-Raziq terbukti ucapannya. Ia berujar dalam kitab monumentalnya Al-Islam wa Ushul Al-Hukm, “kami tidak pernah meragukan sedikit pun bahwa penaklukan selalu menjadi tiang penyangga khilafah. Sejarah tidak pernah menyebut seorang khalifah pun kecuali terbayang di benak kita kengerian banjir darah yang mengitarinya, kekuatan penghancur yang manuanginya, dan pedang-pedang terhunus yang menyertainya.” Istilah khalifah dalam pernyataan itu, sesuatu yang menempel pada sistem khilafah, seperti yang umumnya ditafsirkan penggiat khilafah di Indonesia. Bahwasanya, khalifah hanyalah istilah untuk seorang kepala negara yang ada di dalam sistem khilafah.
Sebut saja, pada pertengahan 2014, dunia diguncangkan oleh sebuah kelompok, yang menamakan dirinya Al-Daulah Al-Islamiyah fi Al-Iraq wa Al-Syam (ISIS), dipimpin oleh seorang khalifah bernama Abu Bakar Al-Baghdadi. Pembunuhan merajalela dimana-mana, tak terkecuali di Indonesia diikuti oleh orang-orang yang berharap segera menemui bidadari-bidadari gemulai nan cantik. Tindakan-tindakan ammoral itu diikuti dengan doktrin yang menyilaukan para mereka yang tidak belajar agama secara baik dan benar, juga salah belajar agama yang penuh kedamaian dan kelemahlembutan.
ISIS bukanlah satu-satunya yang menyerukan khilafah sebagai jualannya di Indonesia, ada HTI, Khilafatul Muslimin dan juga FPI (namun penyantuman istilah dalam visi-misinya lebih kepada jualan “NKRI Bersyariah”; inilah yang membedakannya dengan organisasi ketiga itu).
Dalam perjalanan Islam di Indonesia, istilah khilafah bukan sesuatu yang baru, tapi sebagai sebuah institusi, dia hal baru yang diimpor dari luar, sebuah saja kelompok HTI. Ketidakpuasan mendapatkan kedudukan dan penerapan di negara-negara luar, membuat mereka mengambil momentum di Indonesia, yang menerapkan sistem demokrasi. Dimana kebebasan menjadi asasnya. Dan asas ini yang akan menjadi perlindungan dalam setiap masalah yang menyertainya.
Berbeda dengan ISIS, HTI belum memiliki keberanian dalam melakukan revolusi khilafah di Indonesia. Mereka sadar akan kekuatan ‘militer’ yang dimiliki, juga jaringan di internal pemerintah. Tapi bukan sesuatu yang mustahil, mereka akan melakukannya. Sebab, tahapan demi tahapan, sebahagian telah dilakukan, baik ketika masih legal maupun saat ini yang illegal. Apa yang ditakutkan, Abu Al-Hasan Al-Asy’ari pernah berujar, persoalan khilafah merupakan asal muasal dan penyebab pertama perpecahan yang terjadi di tubuh umat Islam. Artinya, jikalau ini kembali dipaksakan untuk diterapkan di Indonesia, bukan hal mustahil perpecahan di antara sesama anak bangsa akan hadir.
Dalam sejarah Indonesia, mereka-mereka yang ingin mendirikan khilafah dan semisal, selalu menuai perpecahan. Mengapa? Di internal Islam sendiri, secara sadar menyadari itu, bahwa khilafah tidak cocok untuk diaplikasikan walau ditempeli dengan ribuan dalil agama yang menyertainya. Ditambah pula, aktivis-aktivis khilafah-nya membawanya penuh dengan ketidakbijaksanaan. Sama seperti ISIS yang membaluti gerakannya dengan dogma-dogma agama. Begitu pula para penyeru khilafah lainnya.
Fakta dalam minggu ini, kita ambil contoh terbaru, seorang aktivis khilafah dari organisasi HTI selalu menebar kebencian dan “mencaci-maki” di media sosial. Dan itu ditujukan tidak saja kepada yang diluar kelompoknya, tapi kepada pemimpin-pemimpin negara kita. Pertanyaannya, apakah di dalam kelompoknya tidak diajarkan cara mengkritik yang bijaksana dan santun? Mungkin ada yang berkata, “itu oknum”. Apa saja dalilnya, sudah tidak berlaku. Sebab, sebelum diperiksa, kenapa kalian menggunakannya dan men-share tulisan dan video-videonya. Setelah diperiksa, Anda berkata bahwa dia oknum. Paradoks!
Disini, masyarakat Muslim tidak diajak untuk benci pada khilafah-nya, karena itu produk yang lahir dari perjalan Islam, tapi yang perlu diwaspadai adalah orang-orang yang menggunakan topeng itu untuk kepentingan politik globalnya, yang di saat kita lengah menjaga NKRI ini, mereka akan memangsa dengan ganas. Sebagaimana praktik-praktif penyeru khilafah lainnya.
Sebagai wujud kecintaan kita kepada Negara Indonesia, seyogyanya masyarakat Muslim dan siapapun untuk selalu menjaganya dari ronrongan pihak luar, dan menembel jikalau ada kekurangan. Karena sejatinya, presiden di Negara Indonesia ini bukanlah ma’sum sebagaimana kita semua, tapi etika mengkritik dan menambal telah ada dalam undang-undang. Presiden itu dalam istilah terminologis dan fiqhi disebut dengan khalifah. Seorang khalifah harus ditaati selama khalifah tidak mengajak kepada kemungkaran. Namun anehnya, bagi penyeru khilafah yang fenomenal di Indonesia ini, menganggap semua salah apa yang diputuskan dalam kebijakan khalifah di Indonesia.
Al-Asymawi dalam kitabnya Al-Khilafah Al-Islamiyah (1992) menyebutkan bahwa “telah terjadi kesalahan dalam pemaknaan kata khalifah dengan mencampuradukkan antara makna syar’i dan makna historis atau makna yang didapat secara istilah fiqhi (makna yang dirumuskan oleh para ulama Fikih politik—, pen). Adapun makna syar’i dari kata tersebut adalah makna yang dimaksudkan yang terdapat dalam Qur’an atau hadis-hadis Nabi yang sahih. Dimana pemaknaan yang didapatkan dari ayat atau hadis yang bisa ditangkap secara jelas atau makna yang dapat dipahami yan ditunjukkan oleh penggunaan kebahasaan pada masa turunnya ayat tersebut. Adapun pemaknaan yang terjadi setelah masa turunnya ayat tentang khalifah ini yang didasarkan pada opini pendapat atau perubahan makana lafaz khalifah, maka semua itu merupakan persoalan sejarah secara terminologis atau dibentuk berdasarkan Fikih yang diciptakan oleh manusia.”
Artinya, pergeseran makna khalifah dan khilafah telah terjadi sejak Nabi wafat. Lebih-lebih jika kata khalifah hanya berlaku untuk di dalam sistem khilafah. Ketika terjadi pereduksian dari sesuatu yang tidak diwajibkan Qur’an dan hadis, maka mulailah terjadi politisasi agama dan pengingkaran terhadap substansi awal makna itu dihadirkan oleh-Nya dalam Qur’an.
Dengan demikian, masyarakat tidak perlu silau akan kicauan-kicauan para penyeru khilafah, sebab itu hanyalah bungkus yang dibuat guna mewujudkan kepentingan politik globalnya, sebagaimana arahan-arahan dari para pemimpin mereka di luar negeri. []
FKMTHI Nasional