Judul : Jangan Lepaskan Islam Walau Sedetik!
Penulis : Masyhuril Khamis
Penerbit : Republika Penerbit
Cetakan : I, September 2019
Tebal : xvi + 238 halaman
ISBN : 978-602-5734-97-7
Peresensi : Muhammad Sapi’i
Jangan lepaskan Islam, walau sedetik. Inilah ikrar dan tekad yang wajib ada dalam diri setiap kita. Satu ikrar dan tekad untuk menjalani kehidupan sejalan dengan tujuan kita diciptakan (QS adz-Dzariyat [51]: 56] dan berusaha agar semua aktivitas hidup yang kita jalani tidak lari dari status kita sebagai hamba Allah Swt. (QS al-An’am [6]: 162-163). Inilah jalan hidup yang seharusnya kita pilih dan terus berusaha untuk selalu ada di dalamnya.
Kita memiliki siklus hidup yang sama. Dimulai dari kelahiran, lalu menjalani kehidupan, dan pada akhirnya menjemput kematian. Kita juga memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan kemuliaan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Kita mau memilihnya atau tidak? Kita mau menjalaninya atau tidak? Inilah yang akan membedakan kualitas hidup setiap kita. Lewat buku ini, penulis mengajak kita untuk menjalani setiap episode kehidupan senapas dengan ajaran Islam dalam bingkai Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Judul buku ini sangat berkaitan dengan kondisi umat saat ini. Seolah ada gerakan Islam phobia di masyarakat. Apabila disebutkan Islam, berbagai persepsi muncul dalam benak mereka. Ada yang berpikir Islam itu seolah menakutkan, fanatik, namun tidak sedikit, hari ini sebagian besar ghirah Islamnya meningkat dan semakin berani menunjukkan keberadaannya baik secara individu, keluarga dan berkelompok.
Buku yang penulis rancang sebagai buku pengingat, motivasi, dan bahan muhasabah ini tersusun pada empat bagian. Kupasan pertama mengungkap dan memaknai episode kehidupan; dimulai saat kita lahir, kita mempunyai sesuatu, berkeluarga dan menambah kerabat dan mengingatkan bahwa akan ada akhir hidup yaitu kematian.
Di bagian kedua, penulis mengajak kita untuk menjaga episode kehidupan itu agar selalu berpijak pada nilai hidayah Allah. Jangan melepaskan Islam walau sedetik pun dengan cara merawat hidayah. Kita memaknai pergantian tahun hijriyah dan makna hijrah, kenapa Rasul memilih hijrah, dilengkapi sekilas makna kehadiran Rasulullah Saw. dalam hidup kita, dan mengungkap rahasia Isra mi’raj Saw.. Selain itu mengingatkan tentang indahnya Ramadhan, bersinarnya hidup dengan Al-Qur’an, perlunya berbagi, menghidupkan semangat ‘idul fitri dan menggelorakan kembali semangat berqurban sehingga kita tidak menjadi korban keserakahan nafsu hewani. Di bagian akhir di bagian kedua kita diingatkan tentang hakikat haji dan tanggung jawabnya dalam menjaga pesan-pesan Rasulullah Saw. ketika menyampaikan khutbah Arafah.
Pada bagian ketiga, untuk melengkapi tugas kita sebagai Khalifah dan pelanjut agama Allah Swt., pelanjut dakwah Rasulullah Saw., penulis mengajak kita merenungi tugas menjadi pelanjut Risalah. Ternyata melanjutkan risalah itu adalah kewajiban bagi kita semua. Karenanya pada bagian ini, ada nasihat bagi pewaris risalah, agar selalu berhati-hati pada kedurhakaan anak dan perlunya memperbaiki pilar keluarga. Jangan ada sifat rakus dalam diri seorang penyampai dakwah.
Di bagian akhir buku ini penulis mengajak kita untuk melatih hati dan pikiran agar selalu tafakkur, belajar pada alam, pada makhluk lainnya termasuk belajar mengenali tanda-tanda hidup di dalam diri sendiri. Kenapa? Karena kita perlu hidup yang berkualitas, bermakna dan mendatangkan banyak manfaat bagi umat. Kita tidak hanya dikenal oleh penduduk bumi, tapi harus dikenal penduduk langit. Dengan harapan ruh kita akan disambut oleh penduduk langit dengan senang ketika ajal telah tiba.
“Katakanlah, sesungguhnya kematian yang kamu lari dari-padanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu...,” (QS al-Jumu’ah [62]: 8). Kematian datang pada tiap jiwa bak pencuri, yang menyelinap masuk lalu keluar menggondol ruh kehidupan dengan meninggalkan jasad yang tergolek tak berdaya. Kemudian, hidup terasa terlalu singkat. Banyak pekerjaan dan kewajiban yang belum terselesaikan (hlm 56). Lantas, apakah yang patut kita sombongkan! Telah berkata Imam Asy-Syafi’i, "Berapa banyak manusia yang masih hidup dalam kelalaian, sedangkan kain kafannya sedang ditenun.”
Imam Abu Laits Assamarqandi, dalam kitab Tanbihun Ghafilin (Peringatan bagi Orang-orang Lalai) menuliskan di akhir at nanti Allah bertanya kepada manusia, kenapa lalai dan tidak mendekat dengan ajaran Allah. Jawaban mereka bervariasi. Ada yang sibuk karena jabatannya (baca kisah Nabi Daud as.). Ada yang sibuk karena hartanya (baca kisah Nabi Sulaeman as.). Ada juga yang sibuk karena menanggung sakitnya (baca kisah Nabi Ayyub as.). Selain itu ada yang sibuk karena miskinnya (baca kisah Nabi Isa as.) (hlm 131). Semoga melalaui kisah tersebut kita dapat mengambil sebuah pelajaran dan kita pun dapat memetik hikmahnya.
Saudaraku, ayolah kita menanam kebaikan, menanamlah nilai-nilai kebenaran pada anak-anak masa depan, jangan pernah bersantai membuang kesempatan, selalulah berharap pada Allah. Allah tujuan kita. Bukan surga. Bahagia adalah kendaraan kita menuju Allah. Kalau ibadah dirasakan sebagai kebahagiaan maka ibadah terasa lebih ringan dan indah. Jauh dari rasa terpaksa, berat, dan sulit dijalankan. Petani yang tiap hari pergi ke sawah, bisa merasakan “surga”-nya ketika jam makan siang tiba. Makan nasi tempe dan segelas air putih dinikmatinya setiap detik hingga benar-benar terasa nikmat dan lega.
Bukankah kenikmatan dan kebahagiaan hidup itu terasa ketika bisa dinikmati setiap detik peristiwa yang kita alami. Makanlah ketika sedang makan. Tidurlah ketika sedang tidur. Bekerjalah ketika sedang bekerja. Jangan makan, tapi pikirannya bekerja. Orang bijak mengajarkan, man yazra’ yahsud (siapa menanam dia akan memanen). Sekarang kita menanam, Insya Allah, kelak memanen, yakni anak yang beriman, berilmu, beramal, dan beradab. Seraya berserah diri kepada Allah Swt.. Allahu a’lam bish-shawab.
Andaikata besok kiamat, sedangkan di tangan ada bibit kurma Rasulullah Saw. bersada, “Ditanganmu ....... Tanamlah” !!! (hlm 230). “Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya,” (QS az-Zalzalah [99]: 7-8) [].
FKMTHI Nasional