Berita
Menilik Konflik di Tanah Wadas: Sudahkah Manusia Berpikir Cermat?
Menilik Konflik di Tanah Wadas: Sudahkah Manusia Berpikir Cermat?
- 2022-02-11 21:23:50
- Administrator
- Berita
Akhir-akhir ini kita disuguhkan dengan pemberitaan seputar konflik yang terjadi di tanah Wadas Kecamatan Bener Kabupaten Puworejo.
Persoalan di desa Wadas bukan kasus pertama konflik tanah yang terjadi di Indonesia. Konflik ini juga memicu ruang-ruang diskusi bagi para pemikir untuk segera ikut andil.
Sebagaimana data yang disajikan oleh Narasinewsroom, setidaknya terjadi 488 konflik tanah sejak tahun 1998. Sejauh ini, hanya mencapai angka 9 persen yang mampu diselesaikan.
Ini menjadi pertanyaan menarik, tentang bagaimana kebijakan Pejabat Negara yang selalu menuai pro kontra.
Konflik di Desa Wadas juga menjadi salah satu dari banyak konflik yang terjadi di Indonesia. Misalnya konflik perkebunan, kehutanan, infrastruktur, properti, pertambangan, agribisnis, dan masih banyak konflik lainnya yang menjadi catatan hitam tentang penyelesaiin yang memakan korban dan konflik yang panjang.
Jika kita cermati penggalan Ayat 50 QS. Al-An’am yang berbunyi “Afala Tatafakkarun”, penggalan tersebut menunjukkan penegasan untuk kita supaya mau berpikir.
Di ayat yang lain, ambil misal dalam surah QS. Al-Baqarah ayat 44 “….Afala Ta’qilun” menunjukkan hal yang sama, agar manusia bisa berpikir dengan cermat.
Hal ini dikuatkan dengan pendapat buya Husein Muhammad, bahwa redaksi “Apakah tidak” merupakan bentuk kritisme al-Qur’an yang sangat tajam untuk mereka yang tidak mau berpikir.
Sederhananya, di dalam pembuatan perencanaan, perlu pemikiran yang matang. Pembangunan Nasional tidak lantas menjadi tajuk utama untuk menghalalkan segala cara. Sebagaimana yang dikatakan Rm. Mangun, pembangunan tidak bisa di justifikasi dengan tumbal warga sendiri.
Sudut tumpul di sudut-sudut kampung
Jika kita membaca seputar teori Dependensi, kita akan menemukan alur menarik. Bahwa sumber daya mengalir dari “pinggiran” ke “inti”. Memperkaya yang terakhir dengan mengorbankan yang pertama.
Rupanya, teori itu menjadi catatan menarik untuk kita membuka lembaran-lembaran konflik yang terjadi di pedasaan. Catatan kelam di lingkungan adat, penggusuran lahan pertanian, dan masih banyak persoalan-persoalan yang sampai saat ini belum menemukan solusi penyelesaian.
Saya mengutip rangkaian kata dari pemikir muda NU Alm. A khoirul Anam, ia mengatakan: “Kita yang berharap orang-orang berpendidikan, orang kota, dan kelas menengah akan bertindak rasional, harus siap dengan kekecewaan,”.
Ungkapan tersebut tidak lantas menjadi usang, karena faktanya tidak lagi menjadi asing. Kita terbiasa dengan sajian sudut tumpul di berbagai sudut-sudut kampung. Kebijakan yang tumpang tindih, keadilan yang tidak adil, dan beberapa penyelesaiin kasus yang sama dengan hukuman yang berbeda.
Belum lagi tentang pedesaan yang alih fungsi, dengan puluhan warganya yang kehilangan mata pencaharian dan menambah rentetan konflik berkepanjangan.
Wallahu A’lam…
*Penulis merupakan mahasiswa jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir IAIN SYekh Nurjati Cirebon, dan juga merupakan Kepala Departemen Agama dan Pengabdian PP FKMTHI