Berita
Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 183: Kewajiban Puasa Umat-Umat Terdahulu
Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 183: Kewajiban Puasa Umat-Umat Terdahulu
- 2022-04-07 23:32:46
- Administrator
- Berita
Oleh: Muhammad Addien Nastiar
Ramadhan merupakan salah satu bulan mulia, seluruh umat muslim diwajibkan untuk berpuasa selama satu bulan penuh saat Ramadhan. Perintah berpuasa di bulan Ramadhan secara eksplisit dan qath'i diperintahkan dalam QS. Al-Baqarah: 183. Selain itu, ulama juga sepakat atas kewajiban berpuasa penuh di bulan Ramadhan bagi kaum muslimin.
Namun, secara jelas QS. Al-Baqarah menyinggung tentang umat terdahulu yang ternyata diwajibkan pula untuk berpuasa dengan tujuan yang sama, yakni sebagai syarat meraih predikat taqwa.
Artikel ini akan membahas tentang seperti apa puasa yang diwajibkan terhadap umat terdahulu? Apakah sama dengan kaum muslimin saat ini dalam pelaksanaannya atau berbeda? Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana ritual puasa yang diwajibkan kepada umat terdahulu sebelum adanya perintah puasa Ramadhan bagi umat muslim. Berikut penjelasan lengkapnya.
Tafsir Qs. Al-Baqarah: 183
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Mengutip dari Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Ibnu Katsir terkait ayat ini, bahwasanya Allah menyerukan kepada orang-orang yang beriman dari umat ini dan memerintahkan mereka untuk berpuasa.
Puasa berarti menahan diri dari makan, minum, dan bersetubuh, dengan niat yang tulus karena Allah, karena puasa mengandung penyucian, pembersihan, dan penjernihan diri dari kebiasaan-kebiasaan yang jelek dan akhlak tercela. Allah juga menyebutkan, sebagaimana Dia telah mewajibkan puasa itu kepada mereka, Dia juga telah mewajibkannya kepada orang-orang sebelum mereka, karena itu ada suri teladan bagi mereka dalam hal ini.
Maka hendaklah mereka bersungguh-sungguh dalam menjalankan kewajiban ini dengan lebih sempurna daripada yang telah dijalankan oleh orang-orang sebelum mereka. Sebagaimana firman Allah Ta'ala Qs. Al-Maidah: 48.
لِكُلّٖ جَعَلۡنَا مِنكُمۡ شِرۡعَةٗ وَمِنۡهَاجٗاۚ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمۡ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗ وَلَٰكِن لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي مَآ ءَاتَىٰكُمۡۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرۡجِعُكُمۡ جَمِيعٗا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ فِيهِ تَخۡتَلِفُونَ
Artinya: Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan.
Puasa dapat menyucikan badan dan mempersempit jalan syaitan, maka dalam hadits yang terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim ditegaskan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
عن عبد الله بن مسعود -رضي الله عنه- مرفوعاً: «يا معشر الشباب، من استطاع منكم الباءة فليتزوج؛ فإنه أغض للبصر، وأحصن للفرج، ومن لم يستطع فعليه بالصوم؛ فإنه له وِجَاءٌ
Artinya: Dari Abdullah bin Mas'ud -raḍiyallahu 'anhu- secara marfu, "Wahai para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu menikah maka hendaklah ia segera menikah, karena hal itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa belum mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu menjadi tameng baginya (meredam syahwatnya).
Setelah itu Allah menjelaskan waktu puasa. Puasa itu tidak dilakukan setiap hari supaya jiwa manusia ini tidak merasa keberatan sehingga lemah dalam menanggungnya dan menunaikannya. Tetapi puasa itu diwajibkan hanya pada hari-hari tertentu saja. Pada permulaan Islam, puasa dilakukan tiga hari pada setiap bulan. Kemudian hal itu dinasakh (dihapus) dengan puasa satu bulan penuh, yaitu pada bulan Ramadhan.
Diriwayatkan dari Mu'adz, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Atha', Qatadah, dan adh-Dhahhak bin Muzahim, bahwa puasa itu pertama kali dijalankan seperti yang diwajibkan kepada umat-umat sebelumnya, yaitu tiga hari setiap bulannya. Ditambahkan oleh adh-Dhahhak, bahwa pelaksanaan puasa seperti ini masih tetap disyari'atkan pada permulaan Islam sejak Nabi Nuh sampai Allah menasakhnya dengan puasa Ramadhan.
Surat al-Baqarah: 183 tersebut mengandung unsur balaghah. Seperti dijelaskan oleh Syeikh Ali Ash-Shabuni dalam kitab tafsirnya Shofwatut Tafasir, bahwa dalam ayat ini pada lafadz كما كتب terdapat unsur tasybih atau penyerupaan dalam hal fardhiyyah atau kewajiban bukan pada unsur kaifiyyah atau pelaksanaannya.
Artinya, diwajibkan atas kalian kewajiban berpuasa, seperti diwajibkannya puasa atas umat-umat terdahulu. Tasybih seperti ini termasuk dalam tasybih mursal mujmal, dimana disebutkan adat tasybihnya (كما) tapi tidak disebutkan wajh syibhnya. Syeikh Ali Ash-Shabuni juga menjelaskan pada lafadz لعلكم تتقون adalah bermakna agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa dan terhindar dari segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah Swt.
Senada dengan itu, al-Qurthubi dalam tafsirnya al-Jami li Ahkam al-Qur'an menjelaskan makna dari تتقون adalah bertambah ketakwaannya. Karena dengan berkurangnya jatah makan seseorang, maka akan berkurang pula nafsu syahwatnya, dan apabila berkurang syahwatnya, maka semakin berkurang pula perbuatan maksiatnya. Ini merupakan bentuk majaz yang sangat baik.
Syariat Puasa Umat-Umat Terdahulu dalam Al-Qur'an
Beberapa syariat puasa yang diwajibkan bagi umat terdahulu diantaranya adalah sebagai berikut:
Puasa Nabi Daud as
Pada masa Nabi Daud as, disyariatkan kepadanya dan umatnya akan kewajiban berpuasa seumur hidup, dengan pelaksanaan bergantian setiap harinya atau sederhananya satu hari puasa dan satu hari tidak, dan seterusnya selama seumur hidup mereka. Syariat puasa Nabi Daud ini dijelaskan oleh Nabi Muhammad Saw dalam salab satu hadisnya yang berbunyi:
صم يوما و افطر يوما فذلك صيام داود عليه السلام وهو افضل الصيام فقلت : اني اطيق افضل من ذلك، فقال النبي صلىالله عليه وسلم لا افضل من ذلك.
Dari Ibnu Umar radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Puasalah sehari dan berbukalah sehari. Itu adalah puasanya nabi Daud as dan itu adalah puasa yang paling utama. Aku menjawab, "Aku mampu lebih dari itu". Nabi SAW bersabda, "Tidak ada lagi yang lebih utama dari itu". (HR Bukhari).
Puasa Maryam
Maryam merupakan salah satu wanita yang dimuliakan oleh Allah Swt, bahkan di dalam al-Qur'an Maryam memiliki posisi tersendiri dengan berbentuj sebagai nama surah, yakni surah maryam setelah surah al-Kahfi. Adapun puasa yang disyariatkan kepada Maryam bukan hanya tidak boleh makan dan minum, melainkan puasa dengan tidak boleh berbicara. Syariat ini digambarkan dalam Qs. Maryam: 26 yang berbunyi:
فَكُلِي وَٱشۡرَبِي وَقَرِّي عَيۡنٗاۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ ٱلۡبَشَرِ أَحَدٗا فَقُولِيٓ إِنِّي نَذَرۡتُ لِلرَّحۡمَٰنِ صَوۡمٗا فَلَنۡ أُكَلِّمَ ٱلۡيَوۡمَ إِنسِيّٗا
Maka makan, minum dan bersenanghatilah engkau. Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.”
Karena sebab syariat puasa itulah, ketika Maryam ditanya orang-orang perihal siapa ayah dari bayi (Nabi Isa bayi) yang sedang digendongnya itu, Maryam tidak menjawabnya dengan perkataan, melainkan hanya menunjuk kepada bayinya tersebut dan muncullah mu'jizat yang digambarkan al-Qur'an masih dalam surah Maryam: 28-30 yang berbunyi:
يَٰٓأُخۡتَ هَٰرُونَ مَا كَانَ أَبُوكِ ٱمۡرَأَ سَوۡءٖ وَمَا كَانَتۡ أُمُّكِ بَغِيّٗا فَأَشَارَتۡ إِلَيۡهِۖ قَالُواْ كَيۡفَ نُكَلِّمُ مَن كَانَ فِي ٱلۡمَهۡدِ صَبِيّٗا قَالَ إِنِّي عَبۡدُ ٱللَّهِ ءَاتَىٰنِيَ ٱلۡكِتَٰبَ وَجَعَلَنِي نَبِيّٗا
Wahai saudara perempuan Harun (Maryam)! Ayahmu bukan seorang yang buruk perangai dan ibumu bukan seorang perempuan pezina. Maka dia (Maryam) menunjuk kepada (anak)nya. Mereka berkata, "Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?" Dia (`Isa) berkata, "Sesungguhnya aku hamba Allah, Dia memberiku Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi".
Demikianlah beberapa syariat puasa bagi umat terdahulu yang digambarkan langsung oleh al-Qur'an dalam ayat-ayatnya dan hadits shahih dari Nabi Muhammad SAW. Adapun sebagai penutup akan dijelaskan secara singkat mengenai kelebihan dari puasa ramadhan daripada syariat sebelumnya yang sudah dibahas, antara lain:
Lebih Mudah Pelaksanaannya
Puasa ramadhan yang disyariatkan kepada umat Nabi Muhammad SAW sangatlah mudah pelaksanaannya apabila dibandingkan dengan syariat puasa sebelumnya. Hal ini juga termaktub dalam Qs. Al-Baqarah: 185 yang berbunyi:
يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
Dapat dibandingkan dengan puasa yang dilakukan oleh Maryam yang apabila berbicara pun akan membatalkan dari puasanya. Hal ini tentunya sangat sulit apabila dibandingkan dengan puasa ramadhan yang disyariatkan kepada umat Nabi Muhammad SAW. Apalagi bagi umat Nabi Muhammad SAW, dalam pelaksanaan puasa ramadhan yang wajib pun masih terdapat banyak rukhsah atau keringanan bagi orang-orang yang layak mendapat keringanan, tentunya dengan syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi.
Lebih sedikit jumlahnya
Jika dibandingkan dengan puasa Nabi Daud yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka jumlah pelaksanaan puasa ramadhan sangatlah sedikit. Puasa Nabi Daud dilakukan selama seumur hidup dengan satu hari puasa dan satu hari tidak, sedangkan umat muslimin melaksanakan puasa ramadhan hanya selama satu bulan penuh, dan tidak ada kewajiban puasa di sebelas bulan lainnya.
Kesimpulan
Umat Nabi Muhammad SAW adalah umat yang istimewa dan memiliki banyak keutamaan. Hal ini dapat disimpulkan apabila kita melihat syariat-syariat umat terdahulu, khususnya dalam konteks saat ini adalah syariat puasa umat terdahulu akan terasa lebih sulit dan berat apabila diwajibkan pula kepada umat Nabi Muhammad SAW. Puasa ramadhan yang diwajibkan kepada umat muslimin sekarang adalah puasa wajib yang sangat agung dan memiliki banyak keutamaan, selain itu, dalam puasa ramadhan juga terdapat banyak rukhsah atau keringanan terhadap orang-orang tertentu tang memang memiliki halangan.
Pada akhirnya, sudah sepantasnyalah kita bersyukur dengan menyambut bulan Ramadhan dengan penuh gembira dan persiapan fisik dan mental yang baik, sehingga dapat melaksanakan kewajiban berpuasa di bulan ramadhan dengan sempurna, dan dapat mengaplikasikan kebiasaan-kebiasaan baik di bulan ramadhan di sebelas bulan yang lainnnya. Wallahu a'lam.
*Penulis merupakan mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.