Choose Your Color

Informasi

Berita

Kekerasan dengan Dalih Agama

Kekerasan dengan Dalih Agama

  • 2022-06-20 22:07:17
  • Administrator
  • Berita

Oleh: Rasyid Alhafizh 

Sepertinya dunia semakin tidak baik-baik saja, petaka terus menerpa, dan musibah datang menimpa. Manusia sebagai “penguasa” di muka bumi setiap hari semakin haus kuasa, segala hal bisa dilakukan. Bahkan nyawa manusia pun seakan tidak lagi berharga.

Kita tentu tidak lupa dengan sederet kasus kekerasan dan negosida yang mengorbankan banyak nyawa mati sia-sia. Konflik-konflik itu kadang dikemas dengan baik memakai istilah “misi perdamaian”, “perlawanan terhadap teroris” maupun delik agama dengan memakai istilah “jihad.”

Hingga saat ini, konflik sosial dengan kekerasan tercatat dengan tinta kelam perjalanan dunia: peperangan panjang Israel-Palestina, Pemboman gedung WTC pada 11 September 2001, penembakan yang menewaskan 51 orang muslim di Selandia baru, pembataian umat muslim di Myanmar, dan banyak kasus lainnya.

Beralih dari kasus-kasus tersebut, Indonesia sebenarnya juga tidak terlepas dari konflik-konflik sejenis itu, seperti: kasus bom bali, bom thamrin, konflik umat beragama di Tanjung Balai, Aceh, Poso, dan sebagainya sebagian besar dipicu oleh gesekan dan sentimen emosional “agama” yang berujung dengan konflik berdarah. Lantas, apakah agama mengajarkan kekerasan?

Agama merupakan tuntunan kehidupan bagi manusia di dunia, tuntunan ini memuat aturan, tata laku pergaulan, dan tata cara pengabdian kepada yang Maha Kuasa. Pada dasarnya, semua agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan, menuntun pengikutnya agar tidak merugikan orang lain, dan tidak pernah mengajarkan keburukan yang merugikan diri sendiri, orang lain dan makhluk ciptaan tuhan lainnya.

Perilaku buruk apapun yang mengatasnamakan agama, sebenarnya perlu dikaji ulang. Sehingga agama tidak bisa dijadikan alasan maupun dalih untuk mencelakakan orang lain. Seperti yang diungkapkan Gie, kekerasan apapun itu, muncul dari pemikiran, doktrin, paham dan perilaku pribadi dari para pelakunya.

Pada tahun 1974, di Kyoto, dilaksanakan konferensi dunia untuk menciptakan perdamaian antar manusia. Konferensi itu dihadiri sekitar 338 peserta dari 47 negara dari berbagai kepercayaan dan agama. Tujuan pelaksanakannya adalah untuk membangun iman agama-agama yang dapat menyejukkan dunia, dan menghentikan ataupun mengurangi kekerasan yang khususnya mengatasnamakan agama seiring dengan meningkatnya eskalasi kekerasan global.

Melalui tulisan ini, saya berupaya menyingkap kekerasan yang seringkali mengatasnamakan agama dan dalih “untuk kepentingan agama”. Sementara aktifitas dan kegiatan mereka sangat jauh dari ajaran dan pelita agama. Padahal, tujuan diturunkannya agama tidak lain adalah sebagai tuntunan, meraih kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. Mungkinkah kekerasan bermotif agama akan berakhir?

 

Kekerasan dan Konflik

Latar belakang terjadinya krisis dalam konflik sosial berkepanjangan adalah bahwa konflik itu mempresentasikan perjuangan oleh kelompok komunal yang sering kali dilakukan dengan kekerasan, untuk keperluan dasar seperti pengakuan, keamanan dan penerimaan, serta kepentingan ekonomi dan politik.

Setidaknya, ada tiga faktor yang menyebabkan konflik berkepanjangan tersebut, yaitu: Pertama, Doktrin identitas seperti etnis, ras, agama, dan budaya. Inti persoalan komunal itu adalah adanya disartikulasi kepentingan identitas.

Kedua, adanya perampasan kebutuhan secara kolektif. Kebutuhan manusia yang dianggap sebagai hak dasar itu adalah akses politik, keamanan, pendidikan, dan identitas. Kebutuhan ini bersifat ontologis dan tidak bisa dinegosiasi.

Ketiga, dominannya peran negara sebagai faktor kritis yang tidak mampu mencukupi kebutuhan dan keinginan dasar individu ataupun kelompok, sehingga lazim banyak negara yang mengalami konflik berkepanjangan dicirikan berada dalam pemerintahan yang rapuh, otoriter dan gagal memenuhi kebutuhan dasar warganya.

Dalam perspektif yang luas, fenomena kekerasan berkedok agama tidak bisa dilihat secara sepihak sebagai kekerasan agama saja, tetapi harus diamati sebagai akibat dari berbagai faktor. Mulai dari kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, kolusi, krisis politik yang akhirnya melahirkan kondisi yang tidak stabil. Fenomena ini juga tidak terlepas dari sumber global konflik seperti faktor psikologis individu, gejolak biologis, atau faktor sosial-kultural.

Pantelogon Iroegbu mengemukakan tiga hal yang menyebabkan manusia tenggelam ke dalam jurang konflik dan kekerasan, ia menyebutnya dengan “tiga segitiga kelam” (three vicious triagles), yaitu agama-moral-manusia, politik-ekonomi-sosial, dan kebodohan-kemiskinan-penyakit.

Dalam keadaan politik kondisi ini akan menyebabkan terjadinya chaos yang berdampak pada terganggunya stabilitas roda perekonomian. Dalam suasana yang tidak terkontrol itulah akan berlaku sistem politik kanibal yang bermuara dengan kerusuhan sosial serta krisis multi dimensi yang berlarut-larut.

 

Kekerasan adalah Anestesis Agama

Pertanyaan-pertanyaan tentang agama dan kekerasan sebenarnya pertanyaan klasik, yang kembali diulang-ulang ketika muncul fenomena kekerasan berkedok agama. Terhadap realitas ini, sejatinya kita tidak bisa menolak dengan mengatakan bahwa tindakan pelaku kekerasan sama sekali tidak sejalan dengan nilai-nilai agama. Faktanya, banyak sekali pelaku kekerasan mengkampanyekan tindakan mereka dengan mengutip ayat-ayat di dalam kitab suci dan sumber-sumber agama lainnya.

Secara spesifik, agama bersumber dari kitab suci dan teks-teks yang multitafsir. Dari agama yang sama, kita bisa menemukan pemahaman yang melahirkan perbuatan cenderung radikal dengan pola kekerasan dan melahirkan berbagai kelompok dan gerakan, seperti: Al-Qaeda, Jam’ah Ansharut Tauhid (JAT), Jam’ah Ansharut Daulah (JAD), Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), Kelompok militan Al-Shabaab, dan kelompok-kelompok lainnya yang mengklaim bertanggung jawab atas serangkaian kegiatan pemboman, pembunuhan dan tindak kekerasan lainnya. Namun, di sisi lain kita juga menjumpai penganut yang sangat lembut dan mengajarkan agama sebagai rahmat bagi semesta. Pihak pertama, menekankan sisi agama yang keras, sementara yang kedua lebih menekankan sisi agama yang lembut.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa ada dua pihak yang seakan bertolak belakang? Terhadap pertanyaan ini kita tidak cukup hanya menjelaskan tafsir semata. Pilihan tafsir akan berbeda sesuai dengan pengalaman sosial yang dialami. Kita tentu harus mencari penjelasan dari perspektif kritik sosial, yakni dengan menelusuri secara komperehensif relasi-relasi sosial kelompok yang bersangkutan.

Perasaan menjadi korban “ketidakadilan” oleh kelompok tertentu atau oleh negara mendorong orang untuk mencari legitimasi perlawanan. Para penganut agama yang berhaluan radikal pada umumnya merasa bahwa negara seperti Indonesia merupakan negara “sekuler” yang tidak bersumber pada kitab suci umat Islam dan tidak sesuai dengan tuntunan Islam yang mereka sebut sebagai negara thagut atau tirani.

Institusi negara kerap kali juga membatasi ruang aktivitas dan gerak mereka dalam mendakwahkan keyakinannya yang radikal. Bagi mereka, kenyataan ini sudah cukup untuk menjadi bukti bahwa sistem semacam ini layak untuk diperangi. Untuk memerangi sistem ini mereka mengembangkan model tafsir yang melegitimasi perlawanan mereka. Bahkan, mereka meyakini, perlawanan semacam ini merupakan jihad.

Fenomena kekerasan atas nama agama merupakan peringatan bagi institusi negara dan para tokoh agama. Kepada negara, kita berharap agar mereka melakukan berbagai upaya baik yang bersifat preventing maupun countering. Sementara kepada para tokoh agama, mereka memiliki peran sangat penting dalam memberikan pandangan keagamaan yang moderat dalam keberagaman masyarakat Indonesia, bahwa agama adalah titah suci yang membawa misi besar perdamaian dunia untuk kebahagian seluruh manusia tanpa terbatas keyakinan, budaya, ras maupun suku.

 

*Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu Hadis Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang