Choose Your Color

Informasi

Berita

Ketidaktunggalan Sarjana Barat di dalam Studi al-Qur’an-Hadis

Ketidaktunggalan Sarjana Barat di dalam Studi al-Qur’an-Hadis

  • 2022-07-06 20:47:53
  • Administrator
  • Berita

Oleh: M Ikhya Ulumuddin Al Hikam

Bagi sementara kalangan, Kesarjanaan Barat di dalam mempelajari dan meneliti khazanah keislaman (al-Qur’an-Hadis) sering dicurigai membawa misi dan motif tertentu untuk melemahkan sumber utama yurisprudensi umat Islam sekaligus keimanan dari akarnya.

Tendensi sentimen tersebut, misalnya disampaikan oleh M.M. Ahsan dalam karyanya “The Qur’an and the Orientalist” (1980) yang menyebut bahwa kaum orientalis berniat menghembuskan keraguan tentang al-Qur’an dan Hadis sebagai cara untuk menghancurkan Islam, “On the whole the attitude of such occidental scholars has been unsympathic and sometimes hostile.

Pandangan-pandangan minor semacam ini, merupakan mainstream sarjana-sarjana Muslim yang begitu desmisif menegasikan semua yang datang dari Barat sebagai tidak penting dan superfisial tanpa merasa perlu menelaah lebih cermat lagi. Karena itu, artikel ini hendak menyinggung bahwa kesarjanaan Barat tidaklah tunggal, melainkan penuh dialektika di dalamnya sendiri.

Pergumulan dalam Sejarah

Secara historis, persentuhan peradaban Barat dan Timur telah terjadi sejak ratusan tahun silam. Pertemuan ini berakibat terdorongnya beragam upaya untuk saling mengenal di antara masing-masing sebagai kebutuhan diplomasi politik dan kepentingan-kepentingan tertentu lainnya.

Pada perkembangan selanjutnya, intensitas yang terjadi secara terus-menerus membuat kontak antar keduanya berkembang ke banyak hal, salah satunya studi al-Qur’an dan Hadis. Dalam analisis Montgomery Watt, ketertarikan orang-orang Eropa terhadap al-Qur’an bermula setidaknya pada abad ke dua belas ketika Barat dan Islam sama-sama berambisi untuk berhadapan secara intelektual.

Perkembangan terhadap studi seputar Islam (al-Qur’an-Hadis) sendiri kemudian terjadi secara masal pada kurun abad sembilan belas. Puncak perkembangan studi al-Qur’an ini, menurut Watt, ditandai oleh kian meningkatnya sarjana-sarjana yang tertarik dengan kehidupan Nabi Muhammad. Dan pada umumnya, mereka benar-benar menekuni objek studi tersebut.

Heterogenitas Kesarjanaan Barat

Tokoh pertama yang akan kita jelaskan adalah Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht. Keduanya merupakan senior orientalis dan pakar Hadis yang karya-karyanya banyak mengilhami pemikir-pemikir orientalis generasi berikutnya. Hebert Berg, seorang editor Jurnal Method and Theory the Study of Religion, misalnya, mengakui bahwa Goldziher dan Schacht telah meletakkan fondasi metodologi yang penting bagi perkembangan studi Islam kontemporer, “the two most significant contributions made to the study of Islamic origins since Ignaz Goldziher and Joseph Schacht.”

Baik Goldziher maupun Schacht sama-sama memfokuskan kajian mereka kepada persoalan autentisitas dan kronologi periwayatan Hadis. Goldziher berpijak pada pengamatannya yang tajam tentang sejarah awal bahwa jumlah Hadis memang bertumbuh pesat pada antara abad ke-2 hingga 3 Hijriah jauh setelah Nabi wafat. Karena itu, tak mengherankan jika Goldziher menyimpulkan Hadis sebagai produk abad kedua Hijriah.

Ia mengajukan empat alasan kuat yakni; pertama, tidak ada bukti bahwa Hadis-hadis yang lahir belakangan merujuk pada dokumen sebelumnya. Kedua, penggunaan isnād dalam transmisi Hadis justru menunjukkan bukti bahwa Hadis adalah tradisi lisan, bukan tulisan. Ketiga, terdapat banyak sekali kontradiksi antara Hadis-hadis yang muncul lebih awal dan yang belakangan. Keempat, para shighār al-sahābah (sahabat muda) yang lebih sedikit bergaul dengan Nabi justru mendominasi dalam periwayatan Hadis ketimbang para kibār al-sahābah (sahabat senior). Ini semua menjadi asumsi dasar Goldziher untuk mengatakan bahwa telah terjadi deautentikasi Hadis dalam skala yang besar.

Meskipun sangat argumentatif, bukan berarti teori Goldziher tidak memilik celah untuk dikritik. Nabia Abbott adalah salah satu di antara sarjana Barat yang secara cermat mengkritik teori Goldziher. Bagi Abbott sulitnya menemukan manuskrip periode awal tidak bisa dikatakan tidak adanya sumber awa’il sebagai bukti tertulis. Hal ini menurutnya, merupakan konsekuensi dari kebijakan Khalifah Umar bin Khattab yang melarang berbagai bentuk catatan selain al-Qur’an karena khawatir terjadi percampuran.

Abbott juga berargumen bahwa beberapa Hadis yang muncul belakangan adalah kodek-kodek yang sebelumnya telah disimpan oleh sejumlah sahabat yang memang menyimpan, mengoleksi, dan meriwayatkannya sejak awal, seperti Ibn ‘Abbas, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, Abu Hurairah, dll. Karenanya, kenyataan demikian tidak dapat dikatakan bahwa Hadis dalam perjalanan di abad pertama hingga kedua telah terjadi fabrikasi sebagaimana dituduhkan Goldziher.

Sementara Joshep Schacht, sebagai Goldziherian, mengembangkan teori yang disebut “common link theory.” Dari teori ini, Schacht menemukan beberapa Hadis mengacu pada perawi yang sama sebagai penghubung tunggal. Fakta ini, kemudian mengantarkan Schacht untuk menyimpulkan bahwa Hadis sebenarnya bukan basis awal hukum Islam, melainkan inovasi yang muncul setelah beberapa formulasi hukum ditegakkan.

Gautier Juynboll kemudian mencoba, meskipun tidak begitu radikal, merefleksikan tesis-tesis Schacht di atas. Dalam pembacaan Juynboll, sistem sanad memang belum ada pada masa dekat setelah Nabi wafat. Namun, kaum Muslim awal telah ada sebagian tradisi menulis, kendati sangat terbatas. Juynboll juga menilai, konsep epistemologi sunnah Nabi baru benar-benar matang pada abad akhir pertama dikarenakan sunnah sebelumnya hanya merujuk pada praktik Nabi dan atsar para sahabat.

Jika pembahasan di atas terfokus pada seputar diskursus Hadis, John Wansbrough di sisi lain, lebih fokus pada persoalan teks al-Qur’an. Wansbrough, memulai penelitiannya dengan mengungkap fakta, bahwa teks yang diyakini sebagai kitab suci saat ini hanya sebagian kecil dari keseluruhan al-Qur’an. Sebagaian besar materi yang tidak terhimpun secara skriptural kemudian menjadi status Hadis atau diabaikan sama sekali.

Dalam karya besarnya “Qur’anic Studies” (1977), Wansbrough nampaknya ingin menggiring kajian al-Qur’an kepada skeptisisme yang sama digunakan terhadap kajian Biblikal modern sebagai sebuah teks yang berkembang dan dikompilasi secara inkremental.

Apa yang dilakukan Wansbrough ini, kemudian mengundang sejumlah kemusykilan yang tidak tuntas. Celah ini diteliti oleh Fred M. Donner. Ia menganggap Wansbrough gagal menjelaskan perubahan versi bacaan al-Qur’an. “Bagaimana perkembangan bahasa al-Qur’an membutuhkan waktu hingga dua abad? Padahal bahasa dapat berubah hanya dalam waktu 30 tahun, kata Donner.

Penjelasan beragam kajian di atas, adalah sebagian contoh kecil dari sekian banyak fakta di lapangan, yang menunjukkan bahwa proses kajian Barat melalui standar keilmuan yang ketat, bahkan penuh dinamika. Karena itu tuduhan-tuduhan sentimen tidak bisa sepenuhnya diterima. Justru kenyataan demikian seharusnya dipandang sebagai sebuah progresifitas keilmuan, meminjam bahasa Thomas Kuhn “changing paradigm,” yang perlu diakomodasi dan dijawab oleh perspektif semangat keilmuan yang sama.

 

*Penulis merupakan Sekretaris Departemen Riset Pengurus Pusat FKMTHI