Berita
Integritas al-Qur’an-Hadis dalam Diskursus Turos Islam
Integritas al-Qur’an-Hadis dalam Diskursus Turos Islam
- 2022-07-18 22:18:53
- Administrator
- Berita
Oleh: M Ikhya Ulumuddin Al Hikam
Pemikiran Barat tentang studi keIslaman (al-Qur’an-Hadis), sebenarnya dapat digeneralisasi kepada tiga wilayah pembahasan, yakni; seputar autentisikasi teks al-Qur’an, kronologi periwayatan Hadis, dan keterpengaruhan ajaran Islam terhadap tradisi Yahudi Nasrani.
Memang, ketiga isu di atas, sebagaimana kita ketahui merupakan isu sensitif di kalangan umat Islam. Namun sayangnya kita mengenal diskusi di atas hanya melalui karya Edward W. Said sebagai “kacamata kuda” dalam mendiagnosis Kesarjanaan Barat tanpa melakukan pembacaan-pembacaan secara lebih konkret terhadap pemikiran ilmiah yang lain.
Edward W. Said dalam karyanya “Orientalism” (1978) mengatakan orientalisme sebenarnya bukan hanya upaya studi akademis belaka, tetapi juga wujud imperialisasi kepentingan politik-ekonomi, dan religius. Kecurigaan ini nampaknya berhembus kuat dan mengakar dalam pikiran umat Islam pada umumnya. Sehingga yang muncul adalah sikap genaralis yang menuduh semua kajian Barat tentang Timur pasti berniat merusak.
Padalah jika kita mau mencermati lagi, diskursus-diskursus tentang isu-isu sensitif seperti keaslian teks al-Quran dan kredibilitas Hadis justru banyak terdapat di dalam khazanah turos Islam sendiri.
Perdebatan Konvensional
Perdebatan soal integritas al-Qur’an ini cukup luas, sehingga tersedia banyak sumber-sumber dalam berbagai literatur ulama-ulama klasik hingga pertengahan, baik Sunni maupun Syi’ah. Dalam al-Itqān sendiri, sebagai karya induk dalam disiplin ulūm al-Qur’ān, terdapat penjelasan panjang mengenai polemik teks al-Qur’an awal hingga perbedaan versi qira’āt.
Dalam sebuah riwayat Umar bin Khattab, misalnya, pernah mencari-cari suatu ayat yang ia ingat namun tidak begitu jelas. Ia kemudian sadar bahwa orang yang mencatat ayat tersebut telah syahid pada perang Yamamah. Umar juga mengingat terdapat dua ayat tentang kewajiban terhadap orang tua dan satu lagi tentang jihad yang jatuh, atau hilang dari al-Qur’an. Hal ini pun dibenarkan oleh Zaid bin Tsabit, Abdullah bin ‘Abbas dan Ubay bin Ka’ab (al-Itqān, h. 84, Fahm al-Qur’ān wa Ma’ānīhi, h. 400).
Sedang dalam al-Muwatta’ diriwayatkan, Aisyah pernah menyimpan ayat di bawah kasurnya tentang hukum rajam, yang hilang ditelan seekor binatang yang masuk saat seluruh penghuni rumah sibuk mengurus jenazah Nabi.
Terdapat banyak juga riwayat menyebutkan Ali bin Abi Thalib yang menghimpun beberapa bagian ayat yang terpencar pasca Nabi Wafat. Ali kemudian mengajukan dan mempresentasikannya kepada para sahabat, tetapi ditolak. Ia lalu mengambilnya kembali (Kitāb al-Tabaqāt al-Kubrā, h. 338, al-Musannaf, h. 148, dalam versi Syiah lihat al-Kāfī, h. 18).
Hingga gilirannya, ulama pun merumuskan konsep naskh (abrogasi) dalam membendung sensifitas integritas teks al-Qur’an. Menurut Mun’im Sirry, konsep naskh cukup berhasil meredam ‘keliaran’ terkait perdebatan teks resmi Utsmani saat itu. Adalah al-Harits bin Asad al-Muhasibi (w. 243 H), yang kemudian memperkenalkan konsepsi naskh dalam dua kategori yakni mā nusikha hukmuhū wa tilāwatuhu, dan mā nusikhat tilāwatuhu wa baqiya hukmuhū.
Soal Hadis, pun demikian, banyak diskurus ulama-ulama yang kritis terhadap seputar epistemologi dan paradigma di dalamnya. Sampai saat ini, bahkan para fuqaha masih berbeda pendapat tentang jumlah jalur sanad agar Hadis mencapai derajat mutawātir. Ada yang berpendapat lima, dua belas, dua puluh, tujuh puluh, tiga ratus tiga belas, yang masing-masing sama-sama mengklaim memiliki sumber yang kuat (al-Ihkām fi Ushūl al-Ahkām, h. 230).
Padahal, sebagaimana kita tahu, posisi mutawātir begitu strategis dalam pertimbangan istidlāl atau ihtijāj hukum. Saking strategisnya, Imam Nawawi pernah menyampaikan, “Mayoritas ulama yang otoritatif berpendapat bahwa Hadis sahih tetap bersifat dzann kecuali ia tergolong mutawātir” (Taqrīb, h. 175).
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah Hadis mutawātir memang ada? Jawabannya cukup panjang. Dalam pandangan Mahmud Abu Rayya, pertanyaan fundamental ini bisa muncul sebab perdebatan epistemik tentang akurasi Hadis mutawātir begitu rumit.
Ibn Shalhah, misalnya, salah seorang muhadis mutaakhirūn mengakui Hadis mutawātir terlalu sulit dicari dan ditemukan. Disebutkan bahwa Ibnu Qayyim saja, dalam penelitiannya hanya berhasil menemukan enam Hadis mutawātir.
Hadis yang berbunyi “Man kadzaba ‘alaya muta’amidan falyatabawwa’ maq’adahū min al-nār” secara umum memang dinilai sebagai Hadis mutawātir. Tetapi masalahnya terletak pada kata “muta’ammidan”, dimana dalam versi riwayat tiga dari empat Khulafa’ al-Rasyidun kata tersebut tidak ditemukan. Namun, pada jalur Anas bin Malik, Abu Hurairah dan lainnya kata tersebut ditemukan.
Abu Rayya mengatakan banyak pemalsu Hadis yang menganggap tidak berbohong atas nama Nabi karena mereka (menganggap) bertujuan baik. Hal tersebut, menurut Abu Rayya, juga berhubungan dengan sebuah adagium yang muncul, “Nakdzibu laka, lā alaika” (Kami berbohong demi [kebaikan] engkau, bukan untuk [merusak] nama engkau). Benang merahnya adalah, kata muta’amidan mungkin dihapus untuk menolak pembenaran para pemalsu Hadis demi tujuan baik saat itu.
Jadi, benarkah banyak sarjana Muslim, terutama kontemporer, terpengaruh paradigma orientalisme? Apakah terobosan-terobosan besar dan fundamental itu berasal dari pemikiran Kesarjanaan Barat?
Wael B. Hallaq menyatakan, sebenarnya tidak ada yang baru dalam diskursus pemikir Muslim modern dan juga kalangan orientalis. Hallaq juga menampik anggapan orientalisme telah memberikan terobosan besar dalam studi al-Qur’an-Hadis. Apa yang mereka lakukan dengan metode kritik sejarah yang pada titik tertentu sampai pada kesimpulan meragukan Hadis-hadis sahih, menurut Hallaq, sebenarnya secara metodologis telah tersedia di dalam perspektif ushul fiqh.
Perlu kita ketahui, metode observasi ushul fiqh memang tidak melakukan verifikasi kesahihan Hadis, melainkan lebih kepada sisi hujjiyah, apakah suatu Hadis terkait dapat dijadikan sebagai dasar yuridis atau tidak. Dengan kata lain, apakah Hadis tersebut, dalam bahasa fiqh, yufidu al-ilm (definitif) atau hanya yufidu al-dzan (probabilistik). Hal ini, menjadi tidak disadari lantaran kebanyakan muhadis cenderung mengabaikan perspektif ushul fiqh sebagai pisau analisis dan metodologi bagi proses kritik Hadis.
Jadi, anggapan sebagian kalangan bahwa secara umum orientalisme memiliki pretensi negatif, dan sebagian besar pemikir Muslim terpengaruh oleh paradigma Barat, agaknya, perlu dikoreksi kembali. Ibarat “jauh panggang dari api” tuduhan-tuduhan sentimen tersebut justru salah alamat. Persoalan-persoalan sentral sebagaimana di atas nyatanya persoalan yang tidak asing dalam literatur-literatur turos sendiri. Yang jelas itu semua adalah studi keilmuan yang membutuhkan pengayaan sumatif dan upaya penelitian terus-menerus.
Wallahu a’lam.
*Penulis merupakan Sekretaris Departemen Riset Pengurus Pusat FKMTHI