Berita
Menelaah Kesuksesan Farel Prayoga dalam Bingkai Al-Qur’an
Menelaah Kesuksesan Farel Prayoga dalam Bingkai Al-Qur’an
- 2022-08-19 22:21:07
- Administrator
- Berita
Oleh Rizki Prayogo
Upaya Mencari Hikmah Terdapat hal menarik ditengah perayaan momentum kemerdekaan Indonesia di Istana Negara pada tahun ini. Ya, di mana kita dapati penampilan enerjik dari seorang bocah cilik alias bocil asal Banyuwangi yang bernama Farel Prayoga.
Hal ini tentunya menuai berbagai macam reaksi publik dari mulai gemas karena ia masih bocil dan juga kagum karena bisa bernyanyi sedemikian ciamik.
Dalam hal ini, penulis memiliki satu pandangan tersendiri yang boleh jadi belum terlintas dalam benak kita. Tujuannya ialah berupaya mencari hikmah dari manapun dan dengan cara bagaimanapun. Sebab, dalam riwayat Ibnu Addi melalui sahabat Anas RA, Rasulullah bersabda:
اَلْحِكْمَةُ تَزِيْدُ الشَّرِيْفَ شَرْقًا , وَتَرْفَعُ الْعَبْدَ الْمَمْلُوْكَ حَتَّى تُجْلِسَهُ مَجَالِسَ الْملُوْكِ
“Hikmah dapat menambah kemuliaan pada seorang yang mulia dan dapat mengangkat derajat seorang hamba sahaya sehingga mendudukannya sejajar dengan raja-raja”
Perintah Birrul Walidain Menjadi anak yang berbakti pada kedua orang tua bukanlah sebuah pilihan, melainkan kewajiban. Sedangkan, bentuk bakti pada keduanya sangat bermacam.
Bagi seorang Farel, popularitas dan keahliannya yang bisa menjadi pintu rezeki bagi keluarga bisa jadi bentuk baktinya pada orang tua. Karena memang dalam perjalanannya, ia juga sempat ngamen dari satu tempat ke tempat yang lain untuk menyambung hidup, mengais rezeki.
Tentunya juga, ia telah mengangkat derajat orang tuanya dengan prestasi yang dicapainya Tentunya, berbakti secara umum adalah taat dan tidak mengeluarkan kata-kata yang akan melukai keduanya.
Adapun soal prestasi, itu bisa macam-macam. Dalam hal ini ada dua ayat Al-Qur’an yang akan penulis sampaikan untuk mengerti bagaimanakah “perbuatan baik” anak kepada orang tuanya. Memaknai Birrul Walidain dalam Al-Quran QS. Al-Ankabut: 8
وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ حُسۡناۖ وَإِن جَٰهَدَاكَ لِتُشۡرِكَ بِي مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡم فَلَا تُطِعۡهُمَآۚ إِلَيَّ مَرۡجِعُكُمۡ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ
QS. Al-Ahqaf: 15
وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ إِحۡسَٰنًاۖ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ كُرۡها وَوَضَعَتۡهُ كُرۡهاۖ وَحَمۡلُهُۥ وَفِصَٰلُهُۥ ثَلَٰثُونَ شَهۡرًاۚ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُۥ وَبَلَغَ أَرۡبَعِينَ سَنَة قَالَ رَبِّ أَوۡزِعۡنِيٓ أَنۡ أَشۡكُرَ نِعۡمَتَكَ ٱلَّتِيٓ أَنۡعَمۡتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَٰلِدَيَّ وَأَنۡ أَعۡمَلَ صَٰلِحا تَرۡضَىٰهُ وَأَصۡلِحۡ لِي فِي ذُرِّيَّتِيٓۖ إِنِّي تُبۡتُ إِلَيۡكَ وَإِنِّي مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ
Melalui terjemahnya, kita dapat menilai bahwa kedua ayat ini sama-sama berbicara tetkait perintah untuk berbuat baik, berbakti kepada kedua orang tua. Menurut Ahmad Husnul Hakim , berbaktinya anak kepada kedua orang tua, serta kesiapan dan kemampuan anak untuk berkorban untuk keduanya ketika memasuki usia senja menjadi indikasi masyarakat yang sehat.
Meskipun perintahnya dan substansinya sama-sama bermuara pada perintah keharusan berbakti kepada orang tua, Al-Qur’an memilih redaksi yang berbeda. Dalam QS. Al-Ankabut: 8 digunakan kata حسنا dan QS. Al-Ahqaf: 15 memilih term احسانا.
Pembahasan serupa ini juga telah dipaparkan oleh Ahmad Husnul Hakim dalam karyanya Kaidah Tafsir Berbasis Terapan. Dalam buku tersebut pembahasan ini masuk dalam kategori Kaidah Penambahan Kata. Dijelaskan jika bahwa kedua kata tersebut masuk dalam kaidah penafsiran الزيادة في بنية الكلمة atau disebut juga dengan penambahan huruf .
Secara kaidah kebahasaan, kata حسنا berangkat dari حسن-يحسن. Ia adalah urutan ketiga dari tashrif حسن-يحسن. Sedangkan احسانا adalah kata ketiga dari tashrif احسن-يحسن. Kata kedua mendapatkan imbuhan huruf ا (alif). Karena حسن tidak membutuhkan objek, sedangkan احسن membutuhkan objek. Jika melihat pada konteks ayat, dalam QS. Al-Ankabut: 8 berbicara mengenai syiriknya orang tua.
Dengan ini si anak dituntut untuk bersikap tegas sekalipun tetap bersikap baik dan santun terhadap keduanya. Ini bukan hanya representasi berbaktinya anak kepada orang tua, tetapi juga wujud bagaimana adilnya Allah swt pada makhluk-Nya. Di mana melalui merekalah sang anak dapat hadir menatap indahnya dunia.
Sekalipun mereka menyekutukan Allah, tetapi Allah tetap memerintahkan putra-putri mereka untuk berbakti dan berbuat baik. Dari asbab an-nuzul ayat ini yang disampaikan oleh Muslim, at-Tirmidzi dan lainnya yang bersumber dari Saad bin Abi Waqqash yang berkata: Ummu Saad berkata: tidakkah Allah menyuruh agar kau berbuat baik pada ibu dan bapakmu? Demi Allah, aku tidak akan makan suatu makanan dan tidak akan meminum suatu minuman sehingga aku mati atau kamu kufur (pada Nabi Muhammad Saw).
Maka turunlah QS. Al-Ankabut: 8, berkenaan dengan peristiwa itu yang menerangkan berbuat baik kepada ibu bapak selain dalam hal pelanggaran terhadap Allah Swt . Sedangkan, dalam QS. Al-Ahqaf: 15 titik tekannya adalah pengorbanan orang tua, terutama sang ibu yang telah mengandung, melahirkan, menyusui serta merawat dengan penuh kasih sayang. Ini menjadi indikasi bahwa term احسانا hendak mengajak setiap anak memiliki kesadaran betapa keras perjuangan orang tuanya, akan memicu diri si anak untuk sanggup berkorban pada kedua orang tuanya .
Jika diilustrasikan, anggap saja ada seorang anak yang baik akhlaknya, ramah tuturnya serta sopan tindakannya, atau dalam hal ini adalah Farel Prayoga dengan prestasi menyanyi-nya yang sudah ditonton puluhan juta pasang mata di YouTube dan diundang ke acara monumental Negara.
Maka ketika ada orang yang memujinya dan menyukainya, ini adalah bentuk anak itu telah berbuat حسنا. Karena segala bentuk kekaguman yang ditujukan padanya akan mengangkat kemuliaan orang tuanya. حسنا adalah kebaikan yang sifatnya lebih personal.
Sedangkan احسانا adalah segmentasi yang mengharuskan si anak memiliki sikap untuk berani berkorban dan siap berbakti secara totalitas.
Maka, jika setiap orang tua ingin melahirkan putra-putri yang siap berkorban, anak-anak perlu dididik untuk memegang kuat prinsip untuk menjadi pribadi yang kuat memberi, bukan banyak memiliki.
Kesalahan dalam pendidikan kekinian adalah anak diarahkan untuk memiliki banyak hal yang bersifat material. Ini berpeluang besar menghadirkan kekecewaan bagi setiap pihak baik anak maupun orang tua, mengapa? Karena belum tentu juga setiap kita ditakdirkan memiliki harta yang banyak.
Andaikan si anak punya harta banyak, belum tentu ia mau berkorban untuk melakukan kebaikan untuk kedua orang tuanya. Terlebih lagi bagi orang lain. Sudah semestinya bagi setiap orang tua, bahwa orientasi kesuksesan anak bukan hanya terletak pada material. Utamanya adalah immaterial. Yakni ketika putra-putrinya bisa memberi penghormatan dan pemuliaan yang baik.
Ini bisa berkaitan dengan pengaitan term احسن- يحسن – احسانا dengan huruf ب, dalam kaidahnya disebut dengan المتعدي بحرف الباء . Penutup Pada penghujung, penulis mengajak bagi karib setia pembaca untuk tetap merendah hati dan berbesar jiwa dengan segala bentuk prestasi yang kita miliki dan berupayalah sebisa mungkin mengejar derajat اِحْسًا .
Sebab, kita semua mengenal bagaimana kisah Al-Qomah sahabat Rasulullah yang bisa mengais banyak harta, tapi gagal berkorban dan bertindak totalitas terhadap kedua orang tua. Semoga bermanfaat.
*Penulis merupakan Ketua Bidang Keilmuan PP FKMTHI
Referensi
- Muhammad Alfis Chaniago, Indeks Hadis & Syarah (1.885 Hadis Pilihan dari 6 Kitab Hadis Sahih).
- Ahmad Husnul Hakim, Mutasyabih Al-Qur’an: Menyingkap Rahasia dibalik Tata Letak yang Berbeda. (Elsiq Press: Depok, 2021)
- Ahmad Husnul Hakim, Kaidah Tafsir Berbasis Terapan. (Elsiq Press: Depok, 2019)
- Jalaluddin As-Suyuthy, Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul. (Penerbit Darul Ihya Indonesia: Surabaya, 1986). Diterjemahkan Oleh: M. Mujieb