Berita
Membaca Kewajiban Puasa melalui Kacamata Muhammad Syahrur
Membaca Kewajiban Puasa melalui Kacamata Muhammad Syahrur
- 2023-04-04 01:41:26
- Administrator
- Berita
Oleh: M. Ikhya’ Ulumuddin Al Hikam
(Sekretaris Dept. Litbang PPFKMTHI)
Puasa sebagai salah satu dari lima rukun Islam (arkān al-Islām) merupakan bentuk aktualisasi doktrin teologis yang formatnya tidak pernah tersenggol (read: uncriticable) sedikitpun. Landasan utama perumusan rukun iman dan rukun Islam, digali, terutama oleh para ulama muhaddisin dan fuqaha’ melalui petunjuk (istidlāl) hadis yang terdapat dalam kitab-kitab induk seperti; Sahih Bukhari; nomor 57, 50, 46, dan Imam Muslim; nomor 5, 8, 21, 7, bahwa Islam dibangun di atas lima perkara, atau tentang kisah Nabi Muhammad yang didatangi Jibril, dan berbagai macam redaksi lainnya.
Seseorang yang menyatakan diri sebagai muslim mesti melakukan ajaran dan rukun-rukunnya secara menyeluruh (totality) jika tidak ingin dianggap seperti Ahl al-Kitab (QS. Al-Baqarah: 85) atau sekurang-kurangnya sebagai orang munafik yang hanya melaksanakan syariat agamanya secara parsial, pilih-pilih dan setengah-setengah saja (QS. At-Taubah: 42-54).
Perintah puasa dalam Al-Qur’an yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 183 diawali dengan seruan kepada orang beriman (يَاأيُهَا الذَيْنَ أمَنُوا) dan kalimat perintah (كُتِبَ عَلَيْكُمْ) adalah dalil qaṭ’ī yang kuat tentang kewajiban melaksanakan puasa yang lazim disampaikan di mana-mana. Kepada orang-orang Mukmin ayat ini dituju dan diwajibkan pelaksanaannya agar mereka menjadi orang yang bertakwa (la’allakum tattaqūn).
Dilihat dari sudut pandang ini, terdapat sesuatu yang muskil (jika tidak dikatakan anakronistik), antara puasa sebagai salah satu rukun “Islam”, dengan penggunaan kata “īmān” sebagai objek perintah di dalamnya. Asumsinya adalah; jika puasa merupakan bagian dari rukun Islam, maka objek perintah (mukhattab) semestinya orang-orang muslim, bukan allażīna āmanū sebagaimana ayat berbunyi. Pada titik ini bangunan yang telah dirumuskan ulama terdahulu yang menggolongkan puasa kepada barisan rukun Islam, seolah, terlihat berbeda dengan makna yang diinginkan Al-Qur’an. Di sinilah konstruksi pemikiran Muhammad Syahrur meletakkan pembacaan kritisnya.
Teori Taklīfiyyah Muhammad Syahrur
Sebagai pemikir yang bermadzhab anti-sinonimitas, Syahrur mengatakan “islām” dan “īmān” adalah dua hal yang secara epistemologis berbeda. Ia tidak saja memiliki derivasinya sendiri-sendiri, melainkan juga diversitasnya masing-masing.
Bahwa suatu perintah dan larangan di dalam Al-Qur’an, atau al-Tanzīl al-Ḥakīm dalam bahasa Syahrur, memiliki maksud tertentu yang konsisten (muttaṡiqah) di setiap kata-katanya, tidak begitu saja difirmankan. Karya Syahrur yang berjudul al-Islām wa al-Īmān: Manḋūmah al-Qiyam (1996) menjelaskan dengan tajam dan argumentatif tentang persoalan ini.
Dalam analisisnya, perintah-perintah atau kewajiban-kewajiban yang objeknya menggunakan kata muslim (مُسْلِمُ) adalah jenis perintah yang bersifat naluriah-insaniyyah (ghair al-taklīf) yang sejalan dengan kepentingan afinitas manusia itu sendiri. Sedangkan suatu perintah yang menggunakan kata mukmin (مُؤْمِن) sebagai subjeknya, menandakan perintah itu bersifat taklifīyyah, yang memberatkan bagi tabiat atau kelaziman manusia pada umumnya.
Dengan kata lain, perintah puasa, yang disubjekkan orang-orang beriman memiliki makna taklīfiyyah (pemberatan) tidak sejalan dengan keinginan manusia. Menurut fitrahnya, manusia membutuhkan makan ketika lapar, minum ketika haus, atau menumpahkan keluh, sesal dan maki tatkala marah (QS. Al-Ma’arij: 19-21), namun puasa membungkam keinginan itu semua.
Ibadah puasa meniscayakan manusia untuk mengendalikan diri dari keinginan dan nafsu naluriahnya tersebut. Karena itu, terdapat banyak sekali hadis-hadis yang muncul, bahkan hadis ḍaīf dan mauḍū’ yang mengiringinya, berisi tentang anjuran menyambut datangnya puasa ramadhan secara gembira dan sungguh-sungguh (īmānan wa iḥtisāban), lalu menjanjikan pahala besar bagi hamba yang menjalankannya.
Dalam konteks ini, menurut Syahrur perintah puasa secara imperatif sama dengan perintah taklifiyyah yang lain, dalam arti perintah tersebut memberatkan bagi manusia dan butuh pengorbanan untuk melaksanakannya, seperti: jihad, zakat, infaq, haji dan seterusnya. Sehingga seharusnya ia tergolong pada rukun iman. Sebagai contoh Allah memerintahkan jihad. Padahal jihad adalah sesuatu yang dibenci manusia (QS. Al-Baqarah: 216), begitupun, perintah zakat dan infaq bagi manusia sebagai makhluk yang amat mencintai hartanya (QS. Al-Fajr: 20) dan berusaha terus memperbanyaknya (QS. Al-Humazah: 2). Bila diperhatikan, seluruh perintah di atas menggunakan kata mukmin sebagai objek atau subjeknya, bukan muslim. Maka, konsekunsinya adalah: puasa merupakan rukun iman, bukan rukun Islam.
Selain perintah puasa dalam QS. Al-Baqarah ayat 183 diawali dengan sebutan allażīna āmanū, ayat ini juga diakhiri dengan kata takwa. Di sinilah kuncinya. Menurut Syahrur takwa adalah perintah taklīf bagi orang-orang mukmin sebagaimana juga disebutkan dalam Q.S. Ali Imran: 102.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.
Jika diperhatikan, kata seruan (nida’) di awal ayat tersebut, seolah terlihat anakornistik dengan kalimat pungkasannya. Pada ayat tersebut, orang-orang “mukmin” diperintah untuk bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa (haqqa tuqātihi). Namun pada pungkasnya Allah menfirmankan, jika orang-orang mukmin tidak sanggup bertakwa secara penuh (all out), paling tidak ia meninggal tetap dalam keadaan “muslim” (walā tamūtunna illā wa antum muslimūn). Ini adalah toleransi terakhir yang mutlak dan tidak dapat dinego lagi, sebab keadaan muslim adalah fitrah manusia sebagaimana ia pernah disumpah dahulu (QS. Al-A’raf: 172).
Pada konteks “keadaan muslim” di atas, Syahrur menghubungkanya dengan ayat 62 QS. Al-Baqarah yang menurutnya sebagai simpul utama rukun Islam. Bahwa seseorang yang muslim, wajib percaya kepada Allah swt dan hari akhir. Ini adalah batas minimum seseorang dapat masuk surga. Dan, keduanya akan lebih baik jika dipadu dengan beramal saleh. Inilah formulasi rukun Islam yang tepat, bagi Syahrur.
Sebagai sebuah pemikiran, pandangan Syahrur bisa jadi benar, bisa jadi salah. Namun tentu saja, pemikiran Syahrur dibangun tidak sesederhana sebagaimana artikel ini ditulis. Ia telah menapaki perjalanan intelektualitas yang panjang. Karena itu, agar dapat memahami pemikirannya, ada baiknya jika kita membaca karya-karya Syahrur secara lebih utuh dan komprehensif, pun dengan perkembangan berbagai pemikiran lainnnya.
Wallāhu’alam bi al-ṣawāb.